Monthly Archives: November 2023

Mobil Muatan Semen Terbalik di Jayapura: Sopir Tewas, 3 Penumpang Luka

KABARPAPUA.CO, Kota Jayapura – Sebuah mobil Mitsubishi Strada Triton PA 1373 XY bermuatan semen mengalami kecelakaan tunggal di Jalan Raya Waena Sentani, Kota Jayapura, Papua, Sabtu 11 November 2023.

Kecelakaan menyebabkan mobil terbalik hingga menewaskan sang sopir berinisial YG (24). Sementara tiga penumpang mengalami luka ringan.

Kondisi mobil bermuatan semen terbalik di Jalan Raya Waena-Sentani, Kota Jayapura, Papua, Sabtu 11 November 2023. (Dok Humas Polresta)
Kondisi mobil bermuatan semen terbalik di Jalan Raya Waena-Sentani, Kota Jayapura, Papua, Sabtu 11 November 2023. (Dok Humas Polresta)

Kapolsek Heram, AKP Franky Rumbiak dalam keterangannya membenarkan kejadian tersebut. Menurutnya, kecelakaan akibat sopir dalam pengaruh minuman beralkohol.

“Kecelakaan tepat depan Dealer Honda Mitra Jayapura. Pengemudi dalam pengaruh minuman beralkohol bersama dengan 3 rekannya yang menjadi penumpang di mobil tersebut,” jelas Frangky.

Frangky menjelaskan, kecelakaan ini berawal saat mobil melaju dari Waena menuju Sentani dengan kecepatan tinggi. Setibanya di lokasi, mobil mendadak putar balik ke arah Expo Waena hingga menyebabkan hilang kendali dan terbalik.

Pengemudi tidak sadarkan diri, sementara rekan-rekan korban hanya mengalami luka luka ringan. Namun, tiga penumpang dalam keadaan pengaruh minuman keras,” ungkapnya.

Menurut Frangky, dua penumpang sempat membawa korban (sopir) ke RSUD Dian Harapan menggunakan taksi. Namun, nyawa korban tidak tertolong. “Korban mengalami cedera kepala belakang hingga keluar darah dari telinga, hidung dan mulut,” bebernya. *** (Achmad Syaiful)

 

Kematian menurut Alkitab dinyatakan sebagai akhir dari eksistensi (keberadaan) tubuh jasmaniah

Akhir Eksistensi Tubuh Jasmaniah

Kematian menurut Alkitab dinyatakan sebagai akhir dari eksistensi (keberadaan) tubuh jasmaniah. Hal ini perlu terjadi supaya diketahui oleh manusia bahwa dirinya tunduk kepada hukum Allah (lih. Ibrani 9:27).

“Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi,” – (Ibr. 9:27 ITB)

Menurut Roma 6:23 bahwa kematian merupakan akibat dari dosa. Dikatakan sangat jelas, “Sebab upah dosa ialah maut”. Karena semua umat manusia di dunia ini telah berdosa, maka semua orang tunduk kepada kematian. Dalam surat Roma 5:12 dituliskan, “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.” Awal mula kematian ini terjadi sejak kejatuhan manusia pertama dalam dosa. Di kitab Taurat, di dalam Kejadian 2:17 dikatakan, Allah memperingatkan Adam bahwa hukuman atas ketidaktaatan adalah kematian – “pastilah engkau mati.” Ketika Adam tidak taat, ia langsung mengalami kematian rohani, yang menyebabkan dia bersembunyi “terhadap TUHAN Allah di antara pohon-pohonan dalam taman” (Kej. 3:8). Sejak itulah Adam mengalami kematian jasmani (Kej. 5:5).

Karena semua umat manusia di dunia ini telah berdosa, maka semua orang tunduk kepada kematian.

Tiga Macam Pemisahan Dalam Kematian

Alkitab mengajarkan bahwa kematian sebagai pemisahan.

  1. Kematian jasmani merupakan pemisahan tubuh dari dari jiwa dan roh (2 Kor. 5:1-10)
  2. Kematian rohani merupakan pemisahan roh manusia dari Roh Allah
  3. Kematian Kekal merupakan pemisahan manusia seutuhnya dari Allah

Tempat di mana roh dan jiwa manusia yang mengalami pemisahan dari tubuhnya (kematian jasmani) berada disebut sebagai dunia orang mati atau dalam bahasa Ibrani, Sheol.

“sebab jiwaku kenyang dengan malapetaka, dan hidupku sudah dekat dunia orang mati (li-sheol).” – (Maz. 88:3)

Kebahagiaan Bagi Orang-Percaya

Yesus Kristus juga mengalami kematian jasmani (Mat. 27:50) ketika Ia menerima hukuman mati di kayu salib. Namun perbedaannya dengan kematian Adam (atau manusia pada umumnya) ialah: Adam mati karena ia adalah orang berdosa, sedangkan Yesus, yang tidak pernah berdosa, memilih untuk mati sebagai pengganti bagi orang berdosa (lih. Ibrani 2:9). Yesus kemudian menunjukkan kuasa-Nya atas maut dan dosa dengan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga (Mat. 28; Why. 1:18). Karena Yesus Kristus, kematian menjadi musuh yang sudah dikalahkan. “Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?” (1 Kor. 15:55; Hos. 13:14).

“Tetapi Dia, yang untuk waktu yang singkat dibuat sedikit lebih rendah dari pada malaikat-malaikat, yaitu Yesus, kita lihat, yang oleh karena penderitaan maut, dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat, supaya oleh kasih karunia Allah Ia mengalami maut bagi semua manusia.” – (Ibr. 2:9 ITB)

“Aku telah mati, namun lihatlah, Aku hidup, sampai selama-lamanya dan Aku memegang segala kunci maut dan kerajaan maut.” – (Why. 1:18 ITB)

Berita baiknya ialah bagi Saudara yang telah menerima anugerah keselamatan, kematian justru akan mengantarkan Saudara ke hadirat Kristus: “Beralih dari tubuh ini untuk menetap pada Tuhan” (2 Kor. 5:8; Fil. 1:23). Tetapi, bagi siapapun yang belum diselamatkan (belum percaya dan menerima kematian dan kebangkitan Yesus Kristus dalam hidupnya secara pribadi), kematian benar-benar merupakan akhir dari kesempatannya untuk menerima anugerah keselamatan yang ditawarkan secara cuma-cuma oleh Allah. “Dan mereka ini akan masuk ke tempat siksaan yang kekal, tetapi orang benar ke dalam hidup yang kekal.” (Mat. 25:46 ITB). Saat ini, ketika Saudara masih hidup, merupakan kesempatan terbaik untuk menerima anugerah keselamatan itu. Saudara bisa lakukan sekearang juga. Bagaimana caranya? Cukup percaya pada kematian dan kebangkitan Yesus serta menerima-Nya sebagai Juru Selamat pribadi Saudara (lih. Roma 10:9).

Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan.” – (Roma 10:9 ITB)

Saudara bertanggungjawab atas nasib Saudara sendiri, bukan orang lain. Pikirkanlah dan ambillah keputusan terbaik segera demi keselamatan diri Saudara pribadi. Klik di sini untuk mendapatkan petunjuk caranya.

Penutup

Tidak ada yang lebih melegakan dari apapun juga di dunia ini, selain begitu nyatanya janji mengenai kebangkitan orang-percaya dari kematian (lih. 1 Kor. 15:51). Setiap orang-percaya menanti-nantikan masa itu, di mana “maut tidak akan ada lagi” (lih. Why. 21:4). Oleh karena itulah, orang Kristen menyebut kematian jasmani sebagai “tidur” (1 Tes. 5:9-10).

“Sesungguhnya aku menyatakan kepadamu suatu rahasia: kita tidak akan mati semuanya, tetapi kita semuanya akan diubah.” – (1 Kor. 15:51 ITB)

“Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.” – (Why. 21:4 ITB)

“Yesus Kristus, Tuhan kita, … yang sudah mati untuk kita, supaya entah kita berjaga-jaga, entah kita tidur, kita hidup bersama-sama dengan Dia.” – (1 Tes. 5:9-10 ITB)

Kematian Dalam Perspektif Iman Kristian

Yustinus Hendro Wuarmanuk, S. Fils

Pendahuluan

Kematian merupakan sebuah kenyataan hidup yang harus dialami oleh setiap manusia siapapun dia. Menghadapi kenyataan ini sadar atau tidak, kita sering merasa takut akan kenyataan akhir hidup kita di dunia ini. Kematian lalu dipandang sebagai suatu kenyataan yang akan menghapus segala keberadaan hidup manusia. Tidak heran kalau kemudian ada begitu banyak orang memuja kehidupan dan masa muda yang penuh vitalitas serta sedapat mungkin menghindar dari ketuaan. Bayang-bayang kematian terasa sangat kelam dan menakutkan. Benarkah demikian? Bagaimana kita semestinya menyikapi kenyataan yang oleh sebagian besar orang dianggap sebagai suatu ancaman bagi hidupnya sendiri? Haruskah kita juga jatuh pada ketakutan yang sama?

Dalam paper ini, kami akan menguraikan beberapa gagasan tentang kematian itu sendiri dari perspektif iman kristiani. Pandangan ini diharapkan bisa sedikit menepis rasa takut atau paling kurang membuka cakrawala iman yang pada gilirannya membawa kita untuk secara proporsional memandang kematian itu.

Untuk maksud ini, maka sistematika pembahasan dalam papar ini akan dibagi sebagai berikut. Pertama, kematian sebagai kodrat manusia. Kedua, kematian sebagai konsekuensi dari dosa. Ketiga, kematian sebagai jalan penebusan. Dan bagian yang keempat, kematian Yesus dan bedanya dengan kematian kita.

  1. Kematian sebagai Kodrat Manusia

I.1. Apa itu Kematian Manusia?

I.1.1. Pandangan umum

Kematian adalah kenyataan paling penting dalam kehidupan seseorang. Lewat kematian seseorang beralih dari keadaan fana dunia ini ke keadaan pasti di akhiratsebagai keselamatan atau kegagalan abadi. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, WJS. Poerdarminta mendefenisikan, kematian (‘mati’) adalah tidak bernyawa lagi, tidak hidup lagi atau meninggal dunia. Pemahanan ini menghubungkan kematian dengan kehidupan. Sementara itu dari sudut pandang ilmu kedokteran, kematian dipandang sebagai pemberhentian kehidupan dalam organisme tumbuh-tumbuhan, binatang atau manusia. Kematian dipandang sebagai konsekuensi logis dari kenyataan natural dari mahkluk bertubuh. Sebagai mahkluk biologis yang ada secara natural, setiap mahkluk termasuk manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mati. Karena itu, tidak dapat disangkal bahwa manusia yang terdiri dari tubuh mortal dan jiwa imortal harus mengalami kematian sebagai konsekuensi logis persatuan keduanya.

I.1.2. Menurut Kitab Suci

Secara umum dalam Kitab Suci, kematian adalah peralihan status “hidup” kepada status “tidak hidup”, tidak dipandang sebagai pemisahan jiwa dari badan melainkan sebagai hilangnya vitalitas: hidup berhenti, tetapi bayang-bayang manusia masih hidup dalam Syeol (dunia bawah tanah). Orang-orang yangmeninggal bukan lagi “jiwa yang hidup” sebagaimana statusnya sejak ia tercipta (1 Kor 15:45), sebab ia sudah ditinggalkan oleh Roh yang kembali kepada Allah, satu-satunya yang tidak pernah mati (Pkh 12:7; 1 Tim 6:16). Dalam Perjanjian Baru, kematian paling sering muncul dalam konteks kebangkitan, bukan dalam konteks kebinasaan.

Kitab Suci menegaskan bahwa kehidupan dan kematian adalah dua realitas eksistensial yang harus dijalani oleh setiap orang (2 Sam 1: 23; Ams 18: 21). Kematian dirumuskan hakekatnya sebagai penarikan kebali nafas kehidupan atau Roh Allah dari dalam kehidupan manusia (Ayb 34: 14-15). Manusia dianggap sudah mati, ketika nafas kehidupan sudah tidak ada lagi dalam tubuhnya (1 Raj 17: 17). Kenyataan tentang kematian ini secara tegas dapat ditemukan dalam kitab Pengkhotbah yang mengatakan bahwa setiap makhluk sama dihadapan kematian (Pkh 2: 16).

Dalam konteks Perjanjian Baru, kematian lebih dimengerti sebagai mati bersama Kristus dengan harapan akan bangkit bersama Kristus. Paulus dalam suratnya kepada umat di Filipi, mengungkapkan arti kematian kristen, bahwa oleh Kristus kematian itu memiliki arti yang lebih positif “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Flp 1: 21). Dengan ini Paulus menampilkan dimensi baru dari kematian kita: “Jika kita mati dengan Dia, kitapun akan hidup dengan Dia (2 Tim 2: 11). Aspek yang baru pada kematian kristen terdapat dalam kata-kata ini: “oleh pembaptisan warga kristen secara sakramental sudah ‘mati bersama Kristrus’, supaya dapat menghidupi satu kehidupan baru”.

Dalam pandangan Paulus di atas kita mengerti bahwa kematian merupakan titik akhir peziarahan manusia di dunia ini. Kematian merupakan suatu kesadaran bahwa hidup manusia adalah terbatas di hadapan Allah. Keterbatasan manusia di hadapan Allah ini disebabkan oleh kuasa dosa. Dosa telah membawa manusia kepada kematian dan keterputusan relasi dengan Allah sendiri. Kitab Mazmur mengungkapkan realita ini dengan baik: “Masa hidup kita tujuh puluh tahun dan jika kita kuat delapan puluh” (Mzm 90: 10). Ungkapan kitab Mazmur ini mengingatkan kepada kita bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara.

  1. Kematian sebagai Konsekuensi dari Dosa

II.1. Dosa

Dosa adalah suatu pelanggaran terhadap akal budi, kebenaran dan hati nurani yang baik. Dosa adalah suatu kesalahan terhadap kasih yang benar terhadap Allah dan sesama atas dasar suatu ketergantungan yang tidak normal kepada barang-barang tertentu. Dosa melukai kodrat manusia dan solidaritas manusiawi. Dosa oleh Agustinus didefenisikan sebagai “kata, perbuatan atau keinginan untuk bertentangan dengan hukum abadi”.

Dosa adalah suatu penghinaan terhadap Allah: “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat” (Mzm 51:6). Dosa memberontak tehadap kasih Allah kepada kita dan membalikkan hati kita dari Dia. Seperti dosa perdana, ia adalah satu ketidak-taatan, satu pemberontakkan terhadap Allah, oleh kehendak menjadi “seperti Allah”, dan olehnya mengetahui dan menentukan apa yang baik dan apa yang jahat (Kej 3: 5). Dengan demikian dosa adalah “cinta diri yang mengikat sampai menjadi penghinaan Allah. Karena keangkuhan ini, maka dosa bertentangan penuh dengan ketaatan Yesus yang melaksanakan keselamatan.

II.2. Upah Dosa: Maut

Bapa-bapa Gereja memandang kematian selain sebagai akhir hidup manusia, tetapi juga kematian dipandang sebagai akibat dari dosa. Karena kematian adalah akibat dosa, maka kematian itu tidak netral dan bukan sesuatu yang baik bagi manusia. Sebab itu kematian membutuhkan penebusan. Tertulianus menulis: “Kita yang mengenal asal mula manusia, menjelaskan atas dasar kebenaran ini: maut secara alamiah bukan mengejar manusia, tetapi akibat suatu kesalahan, yang juga bukan sesuatu yang alami. Andaikata manusia tidak berdosa, maka dia juga tidak mati”. Ajaran ini memiliki kosekuensi yang besar. Pendapat ini mempengaruhi cara bagaimana teologi kristen melihat, merasakan dan mendiskusikan kematian.

Agustinus mempunyai pandangan tentang kematian sebagai akibat dosa mengatakan seperti ini: “Kematian badani adalah satu akibat dari dosa, bukan karena satu hukuman alam, sebab Allah tidak menentukan nasib manusia lewat kematian seperti itu”. Pokok-pokok ajaran St. Agustinus ini adalah: kematian adalah siksa dosa asal. Kitab Suci membuktikan bahwa dalam hubungan dengan siksa di taman Firdaus, Allah bersabda: “Engkau berasal dari debu dan engkau harus kembali menjadi debu” (bdk. Kej 3: 19). Dalam kematian, Agustinus melihat satu pengalaman yang negatif: “Kematian itu bukanlah sesuatu yang baik, karena membuat orang yang mati menderita. Kematian itu pahit, karena memisahkan badan dan jiwa dan ini bertentangan dengan hukum alam. Kematian adalah sesungguhnya satu siksaan bagi semua orang yang dilahirkan sebagai akibat dari keturunan manusia pertama. Kematian adalah upah dosa. Kematian itu merupakan sarana Tuhan untuk ‘menakuti’ supaya manusia jangan berdosa lagi”. Sebab itu kematian bukanlah sesuatu yang baik. Dengan kata lain, bila orang menjalankan satu hidup yang baik, maka kematian bukanlah malapetaka.

Dalam dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes no 18, dikatakan bahwa sebagai akibat dosa asal, manusia harus mangalami kematian badani yang darinya manusia akan lolos, andaikata ia tidak berdosa. Dari pernyataan ini kita mengerti bahwa kematian telah masuk ke dalam dunia, karena manusia telah berdosa. Tetapi walau manusia dapat mati, Allah menentukan supaya ia tidak mati. Dengan demikian kematian bertentangan dengan kehendak Allah. Kematian masuk ke dunia sebagai akibat dari dosa. Kematian adalah musuh terakhir manusia yang harus dikalahkan.

Kematian menjadi indikasi keterbatasan manusia di hadapan Penciptannya. Karena dosa, manusia tidak dapat lagi menghayati hidup sebagai anugerah Allah yang harus dijalani dengan penuh rasa tanggung jawab (bdk. 2 Kor 5: 15). Terhadap sikap mementingkan diri sendiri, kematian menjadi ancaman serius. “Kematian tidak diciptakan oleh Allah dan tidak juga berasal dari kehendak Allah Pencipta yang baik”. Nabi Yehezkiel mengungkapkan bahwa Allah tidak berkenan pada kematian orang berdosa, melainkan supaya mereka bertobat dan hidup (Yeh 33:11).

Kematian tidak berasal dari Allah tetapi dari manusia itu sendiri. Karena dosa, manusia diperhadapkan dengan maut yang tidak terelakan. Manusia yang berdosa dikuasai oleh maut dan ia tidak dapat membangun relasi dengan Allah (bdk. Rm 5:12-14). Sejarah kematian manusia akibat dosa dimulai sejak Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa. Konsekuensi dari kedosaan Adam dan Hawa adalah dosa asali. Kenyataan ini membuat manusia jauh dari Allah. Dosa asal menyebabkan manusia memiliki kodrat kesadaran dalam diri, yang menyebabkan situasi keberdosaan selalu merupakan bagian dari hidup manusia yang terus disadari.

III. Kematian sebagai Jalan Penebusan

Dalam perspektif iman kristiani, dosa mendatangkan maut dan bahwa maut mengakhiri segalanya. Tetapi maut bukan akhir dari segalanya atau batas akhir hidup kita. Kematian merupakan jalan masuk kepada penebusan dan pemuliaan kita dalam Allah. Kematian sebagai sarana penebusan berkaitan erat dengan pribadi Kristus. Dalam Yesus Kristus dan berkat kematianNya, manusia boleh terus berharap pada penyelamatan Allah.

Karena itu kematian sebagai sarana penebusan lalu ditempatkan dalam perspektif kematian Kristus. Dalam dan melalui Yesus Kristus, Allah menyelamatkan manusia dari dosa dan kematian. Tindakan penyelamatan Allah bukan demi kepentingan Allah, melainkan demi manusia. Allah sebagai Allah yang maha cinta tidak membiarkan ciptaan kesayanganNya binasa dari mati karena dosa. Sebab Allah telah menciptakan manusia untuk hidup. Daya pengerak karya penyelamatan Allah ialah kasih (bdk. Yoh 3: 16).

Yesus memilih kematian sebagai jalan satu-satunya kepada penebusan. Yesus menyadarai bahwa hanya melalui kematian, penebusan dapat terlaksana. Karena itu Yesus tidak menolak dari kematian, melainkan siap menerimanya sebagai jalan yang harus dilalui untuk menghantar manusia kepada persekutuan yang selamat dengan Allah Bapa.

Menerima kematian sebagai sarana penebusan dengan demikian membutuhkan iman percaya kepada Yesus Kristus yang telah bangkit dan menebus dosa-dosa manusia. Kematian hanya dapat diterima sebagai rahmat penebusan juga ditegaskan oleh rasulPaulus kepada umat di Korintus: “Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah keprcayaan kamu” (1 Kor 15: 17).

Jadi syarat untuk menrima kematian sebagai rahmat penebusan adalah iman akan Kristus yang bangkit. Yesus sendiri menegaskan “Akulah kebangkitan dan hidup, barang siapa percaya kepadaKu Ia akan hidup walau ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan percaya kepadaKu, tidak akan mati selama-lamanya” (Yoh 11: 25-26). Yesuslah daya kebangkitan kita, dan dalam Dia kita boleh menerima kematian sebagai rahmat kehidupan baru dalam kebahagiaan kekal.

Kalau kematian dipandang dari pespektif iman sebagai sarana penebusan, menjadi pertanyaan sekarang adalah seberapa jauh kematian menjadi satu pengalaman iman? Greshake dan banyak teolog modern memandang kematian sebagai kebangkitan individual. Para teolog ini tidak menerima adanya ‘jarak’ antara kematian dan kebangkitan badan. Dengan mati, kata mereka, terjadi perubahan tertentu dalam relasi antara jiwa dan badan; dan justeru perubahan itulah yang disebut kebangkitan. Maksudnya adalah bahwa hidup sekarang ini di dunia, dalam hidup yang belum diubah oleh kematian, roh ditentukan oleh badan, khususnya sejauh badan membuat roh kitaterikat pada waktu dan tempat, dan dibatasi olehnya. Akan tetapi dalam kebangkitan, sebaliknya, badan ditentukan oleh roh. Dalam hidup kebangkitan, terwujudlah waktu dan tempat yang baru. “Langityang baru dan bumi yang baru” (Why 21: 1) adalah dunia material seluruhnya, yang diangkat ke dalam roh. Oleh sebab itu tubuh yang bangkit disebut“rohaniah” (I Kor 15: 44), “baka” (ay.53), “tak dapat binasa” (ay.42,53-54).Dalam hidup kebangkitan, materi tidak lagi berarti kesementaraan dan kefanaan. Dalam kebangkitan, tubuh mencapai kebakaan justru karena tubuh menjadi ekspresi hidup baka dalam kesatuan dengan Allah. Satu hal yang mau ditekankan di sini adalah bahwa kematian tidaklah terpisahkan dari kebangkitan. Mati berarti bangkit.

  1. Kematian Yesus dan Bedanya dengan Kematian Kita

Kematian dan kebangkitan memiliki hubungan erat dan tak dapat dipisahkan. Kematian mendapat artinya dalam kebangkitan. Yang satu tidak meniadakan yang lain. Yesus mengalami nasib sebagai manusia, karena itu Iapun mengalami kematian. kematianNya bukan akhir dari segala-galanya, karena jika demikian kematian dan penderitaanNya menjadi tidak berarti apa-apa.

IV.1. Kematian Yesus:Tanda Solidaritas Allah

Rasul Paulus kepada umat di Roma menegskan bahwa “Kita diselamatkan dalam pengharapan” (Rm 8: 24). Pengharapan kita bukan tak berdasar sebab dasarnya ialah wafat dan kebangkitan Kristus. Wafat dan kebangkitan Kristus sebagai peristiwa penyelamatan bagi seluruh umat manusia. Kristus membebaskan manusia dari kematian, berkat wafat dan keabngkitanNya ini. Wafat Kristus adalah solidaritas Allah dengan manusia sampai kedalam kematian, dan dalam kebangkitan Kristus kesatuan Allah dengan manusia itu dibawa kepada kepenuhannya. Di sini kita bisa mengerti bahwa pembicaraantentang kematian Yesus lalu tidak dapat terlepas dari kebangkitanNya.

IV.1.1. Hubungan antara Wafat dan Kebangkitan Kristus adalah Hubungan Pribadi antara Kristus dengan Allah

Sebagaimana sudah kita mengerti bahwa kematian Kristus tak dapat dipisahkan dari kebangkitanNya. Hanya berkat kesatuan antara wafat dan kebangkitan Kristus memungkinkan kebangkitan sebagai penyempurnaan hidup bagi orang-orang lain sejauh mereka bersatu dengan Kristus. Tanpa kebangkitan Kristus, kematian sebetulnya tidak dapat dipikirkan sebagai penyelesaian hidup. Dan tanpa hubungan pribadi antara Putera dan Bapa, tidak ada hubungan antara wafat dan kebangkitan Kristus. Dalam kebangkitan Kristus, Allah mewahyukan diri sebagai Allah keselamatan, dan dari cahaya kebangkitan ini kematian Kristus mendapatkan artinya.

IV.1.2. Wafat Kristus berarti Keterbukaan Kristus bagi Tindakan Keselamatan Allah Bapa

Misteri Yesus Kristus sebagai sungguh Allah dan sungguh manusiasebagai misteri yang paling besar harus ditempatkan dalam kematian, wafat Kristus itu sendiri. Benar bahwa Allah tidak dapat mati, dan bahwa kodrat insani Yesus harus dibedakan bukan hanya dari kodrat ilahiNya melainkan juga dari kepribadianNya yang ilahi namun tidak benar mengatakan bahwa Kristus hanya wafat menurut kodrat insaniNya, seolah-olah kodrat itu tinggal di luar diri pribadi Kristus. Kematian Yesus adalah pengungkapan ketergantungan total kepada Bapa. Yohanes menyebut wafat Yesus itu “Pergi kepada Bapa” (Yoh 14: 28; 6: 28). Surat kepada umat di Ibarani mengungkapkan seperti ini: “ Kristus oleh Roh yang kekal telah mempersembanhkan diri kepada Allah” (Ibr 9: 14). Kekosongan maut tanda dosa itu, oleh Kristus dijadikan ungkapan ketaatanNya secaratotal. “Ia taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp 2: 8). Tanda dosa sekarang menjadi tanda rahmat. Kematian dalam Kristus menjadi hidup.

IV.1.3. Kebangkitan: Tindakan Penyelamatan Allah di dalam Kristus

Dalam Perjanjian Baru selalu dikatan bahwa Yesus “dibangkitkan”. Peristiwa ini dilihat sebagai anugerah dari Allah. Allahlah yang membangkitkan puteraNya dari antara orang mati. Jadi bukan perkembangan diri Kristus sendiri. Bukan perkembangan melainkan “ ciptaan baru” (bdk. 2 Kor 5: 17; Gal 6: 15). Perkembangan berarti kontinuitas, tetapi manusia ciptaan baru berarti diskontinuitas. Tidak ada kontinuitas sungguh-sungguh antara peristiwa wafat dan peristiwakebangkitan. Kontinuitas tidak terletak pada peristiwanya, tetapi dalam diri Yesus sendiri, yakni dalam hubungan pribadiNya dengan Bapa. Antara kematian sebagai peristiwa kehidupan insani dengan kebangkitan sebagai rahmat Ilahi tidak ada kontinuitas. Karena itu kebangkitan dipandang sebagai ciptaan baru. Secara hakiki kebangkitan merupakan tindakan Allah yang dibedakan dari kegitan manusia. Karena itu, manusia tidak bisa menangkap dan menjangkau arti kebangkitan. Kebangkitan hanya dimengerti sebagai rahmat Allah. Kristuslah rahmat Allah itu sejauh Ia bersatu dengan manusia dan dengan Allah. Dalam kematianNya, Yesus bersatu dengan manusia. Kristus dibangkitkan “dari antara orang mati”. Ini berarti bahwa Ia berada di antara mereka, senasib dan sepenanggungan. Justru karena Kristus solider dengan orang mati, bersatu dengan mereka, kebangkitanNyapun mempunyai akibat bagi mereka. Itulah bahwa mereka pun diselamatkan. Bapa menerima bukan hanya Kristus, melainkan semua orang yang mati bersama Kristus.

Kristus menderita kematian orang berdosa- “Ia akan terhitung di antara orang-orang durhaka” (Mrk 15: 28 ;Yes 53: 12). Tetapi dalam kematian itu, Ia bersatudengan Allah. Kematian Kristus di satu pihak sebagai keterasingan dari Allah dan di pihak lain kematianNya sebagai kesatuan dengan Allah dalam ketaatan sebagai penebusan umat manusia. Arti keselamatan yang ada dalam pada wafat Kristus tidak menjadi jelas dari kematian itu sendiri, tetapi baru dari kebangkitanNya. Kesatuan dengan Allah dalam kebangkitan itu dipahami sebagai arti yang sesungguhnya dari wafat Kristus.Kematian Kristus merupakan peristiwa keselamtan bagi manusia justru karena dalam kematianNya itu, Yesus menghayati kesatuanNya baik dengan manusia maupun dengan Allah.

IV.2.Kematian Manusia: Partisipasi dalam Kematian Kristus

Dalam pandangan kristiani kematian manusia bukanlah suatu kesia-siaan. Dari perspektif iman kita percaya bahwa kematian kita terjadi dalam rahmat Kristus. Kematian orang beriman kristiani berarti keikutsertaan dalam kematian Kristus. Kita mati dalam Kristus. Kematian sebagai upah dosa diubah menjadi berkat, karena kita mati dalam Kristus. Rasul Paulus menegaskan hal ini kepada umat di Filipi: “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Flp 1:21). Di sini relasi antara kematian manusia dinyatakan. Kematian kita dilihat dalam cahaya keikutsertaan dalam peristiwa Yesus, kematian dan kebangkitanNya. Mengambil bagian dalam kematian Kristus berarti kita juga mengambil bagian dalam kebangkitanNya. Rasul Paulus menegaskannya bahwa “Bersama Kristus kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaan kepada kerja kuasa Allah yang telah membangkitkan Dia dari antara orang mati” (Kol 2: 12).

Penutup

Dari uraian seputar kematian dari perspektif iman kristiani, kita mengetahui beberapa hal penting. Pertama, kematian merupakan kodrat manusia. Manusia siapapun dia tidak dapat menghindar dari kenyataan alamia ini. Kedua, kematian merupakan konsekuenasi dari dosa. Ketiga, walaupun kematian merupakan penderitaan bagi manusia sebagai akibat dosa, tetapi lewat kematian manusia boleh mengalami penebusan. Dan keempat, penebusan yang dimaksud tidak lain adalah kematian manusia yang disatukan dengan kematian Kristus sendiri.***

Daftar Kepustakaan

1.A Heuken SJ., Ensiklopedi Gereja, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1992.

2.WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993.

3.R.A. Osbourn, “Death”, dalam New Catholic Encyclopedia, New York,1966.

4.Xavier Leon-Dufour, Ensiklopedi PB, Yogyakarta: Kanisius 1990.

5.H. Nijiolah, Dunia Orang Mati Menurut Kitab Suci, Yogyakarta: Pustakan Nusatama, 2002.

6.Katekismus Gereja Katolik, Ende-Flores: Arnoldus, 1995.

7.KWI, Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi, Yogyakarta: Kanisius dan Jakarta: Obor, 1996.

8.P. Dori Wuwur Hendrikus, SVD., “Kematian dalam Ajaran Bapak-bapak Gereja”, dalam Umat Baru No. 186. Thn. XXXI, (November-Desember 1998).

9.G. Kircberger, Pandangan Kristen tentang Manusia dan Dunia, Ende: Nusa Indah, 1986.

10.T. Anugerah, Di Balik Tirai Kematian, Jakarta: JK, 2000.

11.Dr. Nico Syukur Dister, OFM., Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

A Heuken SJ., Ensiklopedi Gereja (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1992), hlm. 280.

WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm.638.

R.A. Osbourn, “Death”, dalam New Catholic Encyclopedia, (New York, 1966), hlm. 684.

Xavier Leon-Dufour, Ensiklopedi PB (Yogyakarta: Kanisius 1990 ), hlm. 388.

Bdk. H. Nijiolah, Dunia Orang Mati Menurut Kitab Suci (Yogyakarta: Pustakan Nusatama, 2002), hlm. 11.

Katekismus Gereja Katolik (Ende-Flores: Arnoldus, 1995), hlm. 289.

Ada apa di Bandara Sultan Hasanuddin Sulawesi Selatan?

Kompasiana.com

Recommended by

KWI, Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi (Yogyakarta: Kanisius dan Jakarta: Obor, 1996), hlm. 463.

Ibid.

Katekismus Gereja Katolik, hlm. 486

Ini Penjelasan Tentang Kematian Menurut Iman Kristen

GKJBrayatKinasih, Miliran – Program Renungan Tengah Minggu (RTM) Rabu, 7 April 2021 mengetengahkan tema: “Kematian dari Sudut Pandang Kristen”. Acara ini menghadirkan pembicara Pdt. Eko Iswanto, dan dipandu oleh Kak Michael, dengan pujian dibawakan oleh Kak Cahyo dan Kak Intan.

Dalam paparannya, Pdt. Eko menjelaskan bahwa Alkitab telah menunjukkan beberapa hal tentang kematian, diantaranya: kematian adalah sebuah peristiwa biasa, kematian berarti pulang ke asalnya, di dalam kematian ada penghakiman, kematian adalah kelanjutan hidup yang baru dan kematian adalah penyelesaian tugas.

Pdt. Eko mengatakan, dengan kematian maka manusia sesungguhnya pulang kembali ke asalnya, yakni tubuh atau jasmaninya kembali menjadi debu dan tanah, sedangkan rohnya kembali ke Sang Penciptanya, Bapa di Surga. Pdt. Eko antara lain mengutip Firman Tuhan dari Yohanes 14:2 yang mengatakan “Di rumah Bapa Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu.”

Namun, di dalam peristiwa kematian itu manusia akan menghadapi pengadilan atau penghakiman untuk mempertanggung jawabkan seluruh hidupnya di dunia. Pdt. Eko mengutip Firman Tuhan dari Korintus 5:10 “Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat.” Melalui pengadilan ini manusia akan ditimbang perbuatan baik dan buruknya, serta dinilai seberapa baik ia memelihara imannya.

Yang menarik, di dalam Iman Kristen, kematian itu justru diimani sebagai sebuah kelanjutan hidup. Dengan kematian kita justru memasuki hidup yang baru, hidup yang kekal bersama Tuhan. Kitab Yohanes 17:3 mengatakan, “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.

Terakhir, bagi orang Kristen, kematian adalah akhir dari penyelesaian sebuah tugas. Tugas yang dimaksud adalah menyenangkan Allah dengan memelihara iman sampai akhir hayat. Seperti disampaikan Timotius 4:7 “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.”

Pemahaman ini semoga memperkaya kita dalam menyikapi sebuah peristiwa kematian. Jika kematian adalah sebuah kepastian, yang tidak bisa kita hindari maka gunakan waktu hidup kita sebagai sebuah proses pembentukan karakter kita untuk memasuki hati akhir hidup kita. (Mike Makahenggang)